AzimatRaja Khodam Ular ini didapatkan melalui ritual penarikan alam di goa keramat didesa sambirjeo, sragen Jawa Tengah. Azimat Raja Khodam Ular ini ampuh, sakti, dan unik apabila ditaruh didalam kegelapan akan menyala. Khodam penunggu azimat tersebut ialah seekor ular gaib raksaka yang akan melindungi pemilik azimat. Akan dimaharkan azimat Vay Tiền Nhanh. Prolog Nama La Ode Wuna bagi masyarakat Maluku khususnya di Pulau Seram, Pulau Manipa, Pulau Sembilan dan sekitarnya sudah tidak asing lagi. Bahkan ada sebagian dari komunitas suku di Maluku Utara menganggap mereka adalah bagian dari keturunan tokoh yang kondisi fisiknya digambarkan setengah bagian atas dari kepala sampai pinggang bewujud manusia, sedangkan sebagiannya lagi dari pinggang kebawah berwujud ular tersebut. Karena bentuk tubuhnya yang didiskripsikan tidak normal itu maka tidak jarang dikatakan bahwa La Ode Wuna adalah sosok mitologi yang absurd dan sulit di cernah dengan logika. Biarpun dianggap sebagai tokoh mitologi, Cerita cerita mengenai asal usul dan sepak terjang La Ode Wuna dikalangan masyarakat Maluku terekam rapi dalam KAPATA- KAPATA. Seperti yang diungkap oleh Geger Riyanto dalam artikelnya yang berjudul “ Bermain-main dengan Kebenaran Sejarah Kontestasi Kedudukan dan Produksi Sosial Narasi Awal Mula “ yang dimuat dalam Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 tahun 2016. Dalam artikelnya tersebut, Geger Riyanti menulis bahwa Ada sebuah lukisan di satu desa bernama Pasahari yang menggambarkan Perjanjian Supamaraina. Perjanjian ini menceritakan mengakhiri zaman peperangan di antara kelompok-kelompok dan memungkinkan terwujudnya Seram sebagaimana ia ada sekarang. Pengungkapan Perjanjinan Supamaraina tersebut mengemuka ketika orang-orang diKecamatan Wahai memperdebatkan matarumah atau marga mana yang berhak ikut serta dalampemilihan raja mendatang. Kala perwakilan salah satu marga menceritakan silsilah mereka untukmemperlihatkan leluhurnya mempunyai peranan yang patut dikenang dalam sejarah Wahai, nama La Ode Wuna tercetus . Dia dikatakan sebagai sosok yang memerintah Manusela dan mendirikan Kerajaan Alifuru. Lukisan perjanjian Supamaraina di Desa Pasahari ini meninggalkan kesan yang sangat kuat bahwa sosok La Ode Wuna tergambar di antara leluhur-leluhur orang-orang Seram dan bukanlah sebagai tokoh mitologi yang tidak bisa diterima secara logika tetapi tokoh nyata yang di ceritakan sedemikian rupa dengan bumbu-bumbu mitos untuk tujuan meneguhkan kewibawaannya dan kekuasaan tokoh yang diceritakan. Pada tahun 2008, untuk pertama kalinya penulis mendapatkan cerita tentang La Ode Wuna di Kepulauan Maluku. Adalah Willy Manusela yang mengaku sebagai putera Pulau Seram menulis dalam blog pribadinya di tentang sosok La Ode Wuna. Dalam tulisan yang diberi judul “ Sejarah Sahulau itu “ dikatakan bahwa Sahulau adalah sebuah kerajaan kuno yang terdapat di wilayah pulau Seram Maluku. Wilayah Sahulau kini merupakan Desa di wilayah pesisir, sedangkan kerajaan tua Negeri Lama yang terletak di puncang gunung kini tidak ada lagi. Sahulau merupakan kelanjutan dari negeri NUNUSAKU sebuah “Negeri yang hilang”. Nunusaku sendiri di percaya masyarakat Maluku sebagai sebuah kerajaan yang menurunkan suku-suku di wilayah Maluku khususnya di Pulau Seram . Nunusaku inilah yang menjadi cikal bakal Alifuru dan menurunkan suku-suku di Maluku khususnya di Pulau Seram. Kerajaan Sahulau salah satu kerajaan Islam yang besar yang ditangani oleh suku bangsa ALUNE dan WEMALE. Kerajaan ini runtuh dan dikuasai oleh Belanda pada 24 Februari 1858 dan selanjutnya masyarakat dipindahkan kedaerah pesisir. Namun masyarakat suku Samasuru tidak mengakui bahwa Sahulau sebagai kelanjutan dari Nunusaku karena Sahulau di pimpin oleh seorang sultan yang bernama La Ode Wuna La Ale. Dalam trdisi Kapata, La Ode Wuna dikisahkan sebagai seorang sakti, namun memiliki tubuh yang tidak sempurna, yakni selain kulitnya bersisik ia juga memiliki tubuh bagaian pinggang ke bawah yang berwujud ular. La Ode Muna sendiri menurut sejarah maupun tutur masyarakat, adalah seorang putra dari kerajaan Muna. Karena kondisi fisiknya itulah yang menjai alasan mengapa masyarakat suku Samasuru menolak eksistensi kerajaan Sahulau sebagai kelanjuta dari Nunusaku. Beberapa tahun kemudian, penulis mendapat pesan melalui inbox media Facebook dari seorang guru di Bekasi yang bernama Alle Rau Pele. Di mengaku sebagai keturunan dari La Ode Wuna yang berasal dari Pulau Manipa. Menurut ceritanya yang dikirim melalui inbox tersebut, sebelum ke Pulau Sembilan kemudian ke Tanjung Sial dan akhirnya ke Pulau Seram, La Ode Wuna terlebih dahulu singga dan menetap di Pulau Manipa. Bahkan di Pulau Manipa ini La Ode Wuna sempat menikahi Puteri Raja yang bernama Warane atau Warang. Kehadiran La Ode Wuna yang memiliki fisik yang tidak sempurna yakni kulitnya bersisik dan sebagian tubuhnya dari pinggang ke bawah yang berwujud ular tidak di senangi oleh penduduk Pulau Manipa. Olehnya itu mereka berusaha untuk mengusirnya. Namun dengan kesaktiannya, upaya untuk mengusir La Ode Wuna itu tidak berhasil. Bahkan akibat upaya pengusiran itu, justru banyak menimbulkan korban dari pihak penduduk local. Untuk menghindari korban yang lebih banyak, akhirnya La Ode Wuna menghindar ke sebuah gunung yang saat ini di kenal sebagi Gunung Rau Pe. Di Gunung itulah La Ode Wuna memulai hidup barunya dan membangun perkampungan. Di tempatnya yang baru itu, La Ode Wuna menunjukan sikap dan ahlak yang baik sehingga dia dapat berinteraksi dengan masyarakat local. Bahkan karena sikap dan ahlaknya yang baik itu serta menunjukan jiwa kepemimpinan, lambat laun masyarakat local yang sebelumnya membencinya berubah menjadi simpati dan kagum kepadanya. Aktifitas keseharian La Ode Wuna di Gunung Rau Pe adalah berkebun dan bertenak. Bersama masyarakat local, La Ode Wuna dapat meningatkan kesejahteraan hidup mereka. Oleh karena itu dia diperkenangkan untuk memperistri puteri raja yang bernama Warane/ Warang. Kepada pasangan suami istri itu, raja memberi mereka tanah di depan Pulau Tuban untuk perkampungan dan berkebun. Sedangkan untuk berternak mereka di beri tanah dari kampong Sela di sebelah kampng Tuban sampai Labuan Timur. Tanah pemberian raja itulah yang saat ini diklaim sebagai warisan La Ode Wuna pada anak-cucunya di Pulau Manipa khususnya yang bermarga Pelu di desa Luhu Tuban. Dalam mengurus ternaknya, La Ode Wuna kerap bolak balik dari Tuban ke Labuan bagian timur melewati sebuah bukit yang saat ini bernama Bukit Sapu Kaki. Kebiasaan La Ode Wuna lah yang melahirkan tradisi yang selalu dilakukan dikalangan anak cucunya yaitu mengibas-ngibaskan ranting kayu putih bila melewati bukit itu. Selain itu, setiap anak cucu La Ode Wuna yang melewati Bukit Sapu Kaki dari Tuban ke La Buan bagian timur dan sebaliknya harus melepaskan alas kakinya pada sebuah batu yang berdiameter sekita 2 meter pada titik awal di bukit Sapu Kaki. Bila ada yang tidak mematuhi ritual itu, maka akan mendapat suatu musibah yang dirasakan pada saat itu juga. Sebelum mendengar kisah La Ode Wuna di Kepulauan Maluku, penulis hanya mendengar dari cerita turun temurun dari masyarakat Muna bahwa ketika diasing ke Gua Oe Nggumora Air Berdo’a di Pulau Kogholifano Pulau Berlipan , La Ode Wuna meneruskan perjalanannya sampai ke Maluku. Tepat di Tanjung Sial, Pulau Sembilan, Dia terdampar dan kelapa yang sebagai tumpangannya di tanam di tepi pantai dan sampai saat ini kelapa-kelapa tersebut masih ada. Dari sanalah kemudian La Ode Wuna berketurunan dan keturunannya masih ada sampai saat ini. Dalam tradisi tutur masyarakat Muna, tidak pernah diceritakan sepak terjang La Ode Wuna di Kepulauan Maluku. Hal itu bisa terjadi karena letak geografis atara Pulau Muna dan Kepulauan Maluku yang begitu jauh. Karena tidak adanya kelanjutan dari cerita La Ode Wuna itu, maka penulis awalnya beranggapan bahwa kisah La Ode Wuna itu hanyalah sebuah mitos belaka. Kisah itu sengaja dibuat untuk menutupi fakta sebagai intrik dalam politik kekuasaan di dalam lingkungan istana Kerajaan Muna. Tapi setelah mendapatkan kisah-kisah dari Kepulauan Maluku tersebut pikiran penulis menjadi berubah dan mengakui bahwa kisah itu adalah benar adanya karena dapat di konfirmasi dari kisah dimana dia terakhir bertempat tinggal yakni di Keplauan Maluku. La Ode Wuna di Klaim Menurut Geger Riyato, Kampung Talaga, Kampung Parigi, dan Desa Malaku adalah kantung penduduk Buton di daerah ini di Pulau Seram. Kampung ini berdiri sebelum paruh pertama abad ke-20. Beberapa dari penduduk pertama ketiga permukiman ini merupakan budak perkebunan kopra yang dibebaskan. Mereka memperoleh hak kepemilikan atas lahan dari Raja Wahai, Ibu kecamatan Seram Utara, dan sebagian lainnya yang datang belakangan mendapatkan hak untuk mengelola dan membagi hasil yang didapat dari tanah tersebut dengan keluarga raja. Kendati sebagian besar orang Buton yang saat ini hidup di permukiman-permukiman tersebut merupakan kelahiran Seram Utara, mereka tak pernah benar benar bisa menanggalkan label pendatang yang melekati mereka sejak awal kedatangan ayah dan kakeknya. Asih menurut Geger Riyanto, Label ini acap mereka peroleh seiring perlakuan menistakan dari kelompok-kelompok lain. Pada beberapa kesempatan, misalnya, mereka tidak mendapatkan bantuan sosial yang disalurkan baik perusahaan maupun pemerintah. Dan satu momen klimatiknya adalah kala Seram Utara tersambar efek domino dari konflik Ambon. Pada saat itu, berkembang kasak-kusuk orang-orang Wahai merasa terancam dengan keberadaan orang-orang Buton yang tinggal di sekelilingnya. Mereka siaga apabila harus mengusir orang-orang Buton yang dianggap pendatang belaka dari tanah yang mereka kira miliknya. Dalam kesehariannya, orang-orang Buton pun acap memelihara sendiri perasaan terpinggir sebagai pendatang ini. Tentu, konteksnya sangat wajar. Pada waktu senggangnya, para warga desa acap berbagi cerita satu sama lain. Salah satu topik yang tak jarang mengemuka lantaran kental dengan drama adalah perlakuan tak mengenakkan yang dialami sanak-saudaranya maupun diri mereka sendiri di daerah lain Maluku. Dan banyak dari antaranya sangat meneror lantaran bentuk perlakuan yang mereka terima adalah ancaman pengusiran penduduk “asli” yang merasa lapangan pekerjaan dan hajat hidupnya diserobot pendantang. Untuk mengeliminir ancaman itu, maka di klaim lah La Ode Wuna yang berasal dari Muna dulu Kerajaan Muna sebagai leluhur mereka. Mitologi asal usul La Ode Wuna sebagai leluhur masyarakat Buton terus dipertgas sebagai upaya melawan perlakukan komunitas yang selama ini merasa penduduk asli. Mengklaim La Ode Wuna sebagi leluhur mereka untuk menghapus abel pendatang tersebut sangat beralasan karena bagi sebagian masyarakat Maluku Utara khususnya di Pulau Seram masih menganggap La Ode Wuna sebagai leluhur mereka juga. Mereka berhap dengan klaim itu mereka bisa mendapatkan hak yang sama dengan penduduk “ asli “ karena sebagai leluhur mereka La Ode Wuna tentu meninggalkan warisan berupa tanah yang bisa digarap oleh anak cucunya. Hal itu seperti yang di tulis oleh Geger Riyanto dalam artikelnya bahwa alasan menjadikan La Od Wuna sebagai figur mitologis yang sedemikian memantik ketertarikan orang-orang Buton Seram Utarasebagai penandasan bahwa mereka merupakan bagian dari masa lampau Pulau Seram dan karenanya, mereka merasa mempunyai tempat yang sederajat dengan orang-orang yang mengaku asli dari Seram. Kehadiran La Ode Wuna dalam Perjanjian Supamaraina, mejadi kekuatan di masa silam yang harus diperhitungkan. Perjanjian itu pun menjadi bukti yang digenggam orang-orang Buton bahwa mereka adalah bagian dari satu peristiwa masa lalu Pulau Seram. Namun ada yang mereka lupa, bahwa tokoh yang mereka klaim itu adalah seorang yang telah datang di Pulau Seram jauh sebelum awal abad ke 20 diawal kedatangan leluhur mereka. La Ode Wuna yang mereka klaim itu juga datang hanya didampingi oleh sedikit pengawal setianya serta kawin dengan penduduk local sehingga keturunan nya dengan sendirinya menjadi orang Maluku dengan mengunakan marga berdasarkan adat setempat sebagaimana yang di klaim oleh masyarakat Tuban di Pulau Manipa yang ber marga Pelu. Selain itu, La Ode Wuna yang diklaim sebagai leluhur orang Buton di Maluku itu asal usulnya secara geografis dan budaya juga berbeda. La Ode Wuna sendiri berasal dari Kerajaan Wuna/ Muna di Pulau Muna, sementara mereka berasal dari Kepulauan Tukang Besi sekarang Wakatobi dan Pulau Buton wilayah Kesultanan Buton. Berdasarkan fakta itu, maka tidak seharusnya masyarakat Buton di Kepulaun Maluku ,mengklaim La Ode Wuna sebagai leluhur mereka, sebab secara asal usul dan sejarah kedatangannya di Maluku antara La Ode Wuna dengan komunitas masyarakat Buton sangat jauh berbeda. Apalagi kalau menggunakan nama La Ode Wuna untuk mendapat hak kepemilikan atas warisan yag ditinggalkan nya berupa tanah dan hak atas adat. Hal itu selain akan mendapat penentangan dari Orang Muna yang benar-benar sebagai anak cucunya dan La Ode Wuna sendiri dan anak cucu nya di Maluku terutama yang ada di Pulau Manipa, Pulau Sembilan dan Pulau Seram. La Ode Wuna Yang Diklaim Itu Berasal Dari Muna. Kisah La Ode Wuna, baik yang berkembang di Maluku, Di Muna dan di Buton semuanya conform bahwa La Ode Wuna berasal dari Kerajaan Wuna/ Muna di Pulau Muna. Dia adalah putera Raja Muna yang diasingkan ke sebuah Gua di Pulau Kogholofano Wilayah Kerajaan Muna- sekarang Kabupaten Muna kemudian berlayar sampai di Kepulauan Maluku. Dalam tradisi tutur masyarakat Muna, ada dua versi yang mengisahkan tentang keberadaan La Ode Wuna. Satu versi, La Ode Wuna di kisahkan sebagai anak Sugi Manuru, Raja Muna ke 6, bersaudra dengan La Kilaponto, Raja Muna ke 7 yang kemudian mendirikan Kesultanan Buton sekaligus sebagaii sultan pertama. Sedangkan versi kedua dikisahkan sebagai anak dari Omputo Sangia, Raja Muna ke 14 bersaudara dengan Wa Ode Kamo moono Kamba. Namun dari kedua versi itu, baik isi cerita maupun endingnya memilki kesamaan yakni La Ode Wuna memiliki fisik setengah bagian tubuhnya dari kepala ke pinggang berwujud manusia dan setengah lainya dari pinggang ke bawah berwujud ular. Sedangkan endingnya, La Ode Wuna diasingkan ke sebuah Gua yang bernama Oe Nggumora air berdo’a di Pulau Kogholofano dan terakhir berlayar ke Maluku dan mnetap disana. Dalam versi Buton, La Ode Wuna di kisahkan sebagai anak La Kilaponto dan memiliki saudara kembar yang bernama La Manggapore. La Ode Wuna dalam versi Buton itu dikisahkan lahir dari hubungan gelap La Kilaponto dengan saudaranya sendiri yang bernama Wa Pogo. Karena hubungan cinta terlarang dua bersaudara itu, La Kolaponto dan dan Wa Pogo yang dalam keadaan hamil karena hubungan terlarang itu diusir oleh ayahnya Sugi Manuru Raja Muna ke 6. Dalam perjalanan pengasingannya itu, Wa Pogo melahirkan di sebuah tempat yang saat ini di kenal sebagai Keluruhana Lea-lea Kota Baubau dan anak yang dilahirkan kembar yang satu berwujud anusia utuh yang diberi nama La Manggapore dan yang satunya berwujud Ular dan di beri nama La Ode Wuna. Belakangan La Ode wuna di usir dari istana La Kilaponto yang saat itu telah menjadi Sultan Buton pertama Karena sering mengganggu dayang-dayang istana. Tempat dibuangnya La Ode Wuna adalah di Oe Nggumora seperti yang berkembang di Muna. Dari Oe Nggumora itu kemudian La Ode Wuna meneruskan perjalanannya hingga sampai di Pulau Seram. Sedangkan dalam Kisah La Ode Wuna di Kepulauan Maluku, baik yang ada di Pulau Manipa maupun Pulau Seram, tidak terlalu rigit mengisahkan tentang asal usulnya. Dari semua kisah di Kepulauan Mauku yang di dapat oleh penulis semua mengisahkan bahwa La Ode Wuna anak Raja Muna. Sedangkan ending dari kisah-kisah itu sebagaimana yang diulas pada prolog artikel ini. Demikianlah artikel ini yang mengngkap asal usul tokoh “ mitologi “ La Ode Wuna yang begitu popular di daerah yang jauh dari tempat ke lahirannya. Bahkan karena jauhnya sebaran pengisahaannya itu sehingga anak cucunya di daerah asalnya tidak terlalu mengenalnya apalagi sampai membanggakannya atau mengenagnya sebagai lelur mereka. Baubau, 25 Juni 2020 Muhammad Alimuddin Silakan klik unduh untuk Unduh artikel Geger Riyanto yang berjudul “ Bermain-main dengan Kebenaran Sejarah Kontestasi Kedudukan dan Produksi Sosial Narasi Awal Mula Baca juga Artikel terbaru Pagelaran Budaya Muna di Halal bi Halal Rumpun Keluarga Besar Kapitalao Loghia Maluno te Bhontuoleh la ode muhammad ramadanApril 25, 2023Sebagai upaya merajut kebersamaan dan memperkokoh silaturahmi dalam mewujudkan persatuan, rumpun keluarga besar almarhum La Ode Tao Kapitalao Loghia Maluno te Bhontu menggelar halal biLanjutkan membaca “Pagelaran Budaya Muna di Halal bi Halal Rumpun Keluarga Besar Kapitalao Loghia Maluno te Bhontu” SEJARAH DAN NASIONALISME DALAM PEMBELAJARAN SEJARAHoleh Muhammad AlimuddinApril 2, 2023ASESMEN KESADARAN SEJARAH DAN NASIONALISME DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH By humas on Wed, 01/04/2023 – 0751 Masa lampau adalah keniscayaan, masa kini kenyataan, dan masa depan adalah harapan. HalLanjutkan membaca “SEJARAH DAN NASIONALISME DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH” Kalangkari dan Bhara, Musim Tanam Masyarakat Suku Munaoleh la ode muhammad ramadanMaret 17, 2023Dahulu, masyarakat Suku Muna merupakan masyarakat agraris yang mata pencaharian utamanya berasal dari hasil-hasil pertanian dan perkebunan. Jagung, padi, umbi-umbian, kacang-kacangan, sayur mayur, dan lainnyaLanjutkan membaca “Kalangkari dan Bhara, Musim Tanam Masyarakat Suku Muna” Rencana Budidaya Ikan Nila dengan Sistem Bioflok di Makodim 1416/Munaoleh la ode muhammad ramadanDesember 3, 2022Pekan terakhir November 2022, saya mendapatkan tugas dari pimpinan untuk menjadi salah satu tim teknis kegiatan budidaya ikan nila dengan system bioflok di Markas KomandoLanjutkan membaca “Rencana Budidaya Ikan Nila dengan Sistem Bioflok di Makodim 1416/Muna” Melestarikan Alam Bersama Mahasiswa Perikanan di Tanah Munaoleh la ode muhammad ramadanNovember 11, 2022Dipenghujung Oktober 2022, saya mendapatkan amanah untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang terumbu karang kepada para mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di tanah Muna. TugasLanjutkan membaca “Melestarikan Alam Bersama Mahasiswa Perikanan di Tanah Muna“ Kritik Sebaiknya Dijadikan Pelajaran untuk Perbaikanoleh la ode muhammad ramadanNovember 9, 2022Ditengah waktu senggang istrahat siang, Rabu 9/11/2022, saya sempatkan melihat-lihat perkembangan informasi dimedia sosial facebook. Ada satu status yang sedikit menarik perhatian saya. Status tersebutLanjutkan membaca “Kritik Sebaiknya Dijadikan Pelajaran untuk Perbaikan“ Sistem Pemerintahan dan Struktur Ketata Negaraan Kerajaan Munaoleh Muhammad AlimuddinAgustus 27, 2022Sistem Pemerintahan dan Struktur Ketata Negaraan Kerajaan Muna Dalam Prespektif Hukum Tata Negara Moderen Oleh Muhammad Alimuddin A. SELAYANG PANDANG SEJARAH TERBENTUKNYA KERAJAAN MUNA KerajaanLanjutkan membaca “Sistem Pemerintahan dan Struktur Ketata Negaraan Kerajaan Muna” Pada zaman dahulu, di kerajaan Muna yang dipimpin oleh seorang raja bernama Omputusangia, nama asli dari Omputusangia adalah La Ode Husaeni beliau memerintah pada tahun 1716-1757. Omputusangia memiliki seorang istri yang sudah dinikahinya selama tujuh puluh tahun. Setiap hari, Omputusangia hanya disibukkan dengan masalah-masalah kerajaan karena kerajaan adalah sebuah pusat penyimpanan semua hal-hal penting, boleh dibilang semua yang ada dalam kerajaan adalah panutan atau pedoman yang dibutuhkan dan diinginkan oleh rakyat pada suatu malam, Omputusangia duduk di tempat peristirahatannya, ia pun berpikir bahwa sudah tujuh puluh tahun menikahi istrinya namun Omputusangian belum juga mendapatkan keturunan, lelah berpikir akhirnya raja terlelap tidur karena sudah larut malam. Pagi hari, Omputusangia mendapat kabar dari pengawal kerajaan bahwa pulau Muna didatangi seorang saidagar dari Arab dengan niat untuk menyebarkan agama Islam, saudagar itu bernama Saidhi Raba. Pengawal kerajaan itu menambahkan lagi bahwa Saidhi Raba memiliki kemampuan hebat seperti sebuah kesaktian karena Saidhi Raba datang di pulau Muna lewat udara. Mendengar berita itu, Omputusangia memerintahkan pengawalnya untuk memanggil Saidhi Raba datang ke kerajaan. Pergilah pengawal kerajaan tersebut ke tempat Saidhi Raba. Setelah raja menunggu seharian di istana, pengawal yang disuruhnya tadi kembali, namun tidak bersama Saidhi Raba. Melihat wajah raja yang kelihatan marah, pengawal tersebut menjelaskan alasannya tidak membawa Saidhi Raba. Pengawal itu mengatakan bahwa Saidhi Raba tidak ingin dating ke Istana karena raja memelihara babi, dan menurut ajaran agama Saidhi Raba yakni Islam, babi adalah hewan yang kedatangan Saidhi Raba, Raja Muna rela melepas semua babinya. Disurulah kembali pengawal untuk pergi menjemput Saidhi Raba. Sore harinya, Saidhi Raba datang ke Istana dan bertanya pada Raja tentang maksud Raja memanggil dirinya. Omputusangia pun berkata bahwa ia ingin menguji kesaktian dari Saidhi Raba, hingga ia mampu menyebarkan ajaran agama Islam di Muna. Pertama-tama, Raja menguji Saidhi Raba untuk membaca isi hatinya, apabila Sidhi Raba dapat membaca apa yang diinginkan oleh Raja saat itu maka Raja akan masuk dalam ajarannya yakni Islam. Dengan kemampuan yang dimilikinya, Sidhi Raba pun mengatakan bahwa Raja ingin sekali memiliki seorang anak karena istrinya mandul. Berdoalah Saidhi Raba kepada Tuhan namun doanya belum dikabulkan. Muncul kecurigaan dari Raja bahwa Saidhi Raba tidaklah sehebat seperti apa yang dibicarakan. Saidhi Raba rupanya tidak berhenti disitu, dilanjutkannya lagi untuk berdoa yang kedua kalinya, akhirnya doa Saidhi Raba diterima. Istri Raja pun mengandung dan Raja masuk agama Islam karena senang melihat istrinya telah mengandung. Sebelum pulang, Saidhi Raba berkata pada Raja bahwa roh yang ada dalam kandungan istrinya adalah roh yang terpaksa diberikan Tuhan karena umur istri Raja Muna sudah sangat Saidhi Raba rupanya terus dipikirkan oleh Omputosangia. Tibalah waktunya untuk istri Raja melahirkan. Ternyata perkataan Saidhi Raba benar, anak yang dilahirkan oleh istri Raja Muna berbadan setengah manusia dan setengah ular. Raja pun sedih melihat kondisi anaknya namun ia harus berterima kasih karena ia telah meminta anak itu dari kesaktian Saidhi Raba. Setiap hari, apabila ada kunjungan tamu dari Bugis ataupun Minangkabau, anaknya yang diberi nama La ode Muna selalu disembunyikan dalam guci karena Raja malu dengan keadaan fisik yang dialami oleh belas tahun kemudian, La ode Muna tumbuh menjadi dewasa. Mulailah ia menggoda para gadis yang ada dalam lingkungan istana. Ia pun menyampaikan niatnya untuk memiliki seorang pacar, namun Raja tidak menhendaki dan melarangnya karena tidak mungkin La Ode Muna dapat menikahi seorang gadis bila kondisi fisiknya setengah manusia dan setengah ular. Sampai pada suatu hari, Omputosangia memutuskan untuk membuang La Ode Muna agar ia tidak mendapatkan malu dari anak jadi-jadian itu. Raja membuang La Ode Muna di Unggumora dengan bekal 44 biji telur dan 44 biji ketupat. Setelah empat puluh hari di buang di tempat itu, La Ode Muna terbang ke langit dengan badan yang menyala dan mengatakan bahwa saya telah terbang. Sampai sekarang rakyat Muna tidak mengetahui arah La Ode Muna terbang. Ada pula yang mengatakan bahwa La Ode Muna terbang ke Ternate. La Ode Muna dianggap sebagai seorang yang memiliki ilmu ataupun kemampuan. Jadi, rakyat Muna mengistimewakan La Ode Muna karena ia manusia yang berkah karena disamping memiliki kekurangan ia juga mempunyai kelebihan yakni setiap yang ia ucapkan akan menjadi WunaDhamani wawono, te liwuntomu witeno wuna nando seghonu lambu dokonae kamali be dhumaganie semie omputo nokonano Omputosangiano wuna, neano La Ode Husaeni. Omputusangia nohakui Omputorimbi padamo nokawinie salamponano fitufulu fitu taghumu. Sesegholeo, Omputosangia dowuleane be aru-aruhino okafehumpuha maitu. Norato sewakutu karondoha, Omputosangia nongkora we kamali kafewulehano tamaka Omputosangia minaho dokoana. Anoa nofikirie namedahae sodokoanagho, no wule no fikiri tandano tano lodo rampano nobalamu nomentae, Omputosangia nopoghawawo barita neneangkano welo kamali nandomu mie mengkaratono maeghono we Arabu be patudhuno mefolilino agama Islam. Neano saudagar itu Saidhi Raba. Omputosangia notudu ana buahino sobasi Saidhi Raba rampano Saidhi Raba nodhagani nepandehauno. Pada itu niontagi oraja welo kamali, ana buahino nosulimo ne kamali nadha sikalaha be Saidhi Raba nosuli moisano. Omputosangia nomara rampano mina narumato Saidhi Raba. Ana buahino itu nobisaragho rampano Saidhi Raba nanahumunda nokumala we lambuno Omputosangia rampano Omputusangia nepiara o wewi, Saidhi Raba mina nokumala rampano notimbula wewi ane welo agama Islam no Saidhi RabA, Omputosangia no relamo nofifelei wewino sumano nopoghawa be Saidhi Raba. Notudu tora ana buahino namoghawagho Saidhi Raba. Kapandano gholeo, noratomu Saidhi Raba we lambuno. Nofenagho noafa Omputosangia noniati namena fikirino Saidhi Raba, pasino nopondeimo nokomohea agama Islam se witeno wuna. Pakatandano, Omputosangia notudu Saidhi Raba sa nabasa we totono lolono. Saidhi nobisara, Omputosangia nopindalo nokoana rampano mie lambuno noghafa. Nobasamo doa Saidhi Raba nesalo nekakawasa tamak minahu notarimae, Saidhi Raba nobasa doa ferapakumo maka notarimae. Miendo lambuno Omputosangia no pangidamo be nobalamo taghino. Oputosangia nopesuamo agama Islam rampano notumpu lalono nobalamo taghimo miendo lambuno. Naho nasumuli nobisara Saidhi Raba ne Omputo, rohi welo kandungano ituokasalo-salo nekakawasa rampano umuruno mieno lambuno Saidhi Raba dhadhi fikiri Omputosangia. Noratumu wakutuno sokalentehano anano Omputo. Nokotughumu wambano Saidhi Raba. Anano nolente sebera manusia sebera ghule dokonaemu neano Adhe wuna La Ode Wuna. Omputosangia nobela lalono nowora anano, ano notarimae rampano maeghonomu wekakawasa. Sesegholeo, pedahae ane norato tamu maeghono we Bugis be Minanggkabau, anano sadhia nefebunie welo guci rampano lima taghu tewise, La Ode Wuna nobalamo. Notandamo dua nopogau be kalambe welo kamali. Adh Wuna nopindalomu dua noguma semia robine, nobisaramo ne Omputo tamaka Omputo nanamindalo ane Adhe Wuna noguma. Sampe norato segholeo, Omputo nobutuemo so Adhe Wuna noghomoroemu rampano noambanu. Omputo noghoroe Adhe Wuna we onggumora we pola, be bakuluno fatofulu fatoghonu ghunteli be fatofulu fatoghulu katupa. Fatofulughami doghoroe we onggumora, La Ode Wuna nohoro telani be norende badhano be nobisara inodi ahoromu telani. Sampe ampahiaitu, omieno liwu minamo damendahane bahi nehamai Adhe Wuna, maka nando dua nobisarana nohoro we Ternate. Meindo Wuna, dokonahae La Ode Wuna semie mandahauno kanandono. Dhadi, miendo Wuna doghondofane Adhe Wuna rampano mie barakati, rampano hamai nobesarane nokotughu. Dalam kehidupan ini, terdapat berbagai macam mitos yang di percaya oleh sebagian besar umat manusia. Mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa yang mengandung arti mendalam dan diungkapkan dengan cara gaib KBBI 2010. Setiap daerah dan suku bangsa memiliki mitosnya masing – masing, terkadang dalam suatu daerah terdapat belasan bahkan puluhan cerita mitos yang dipercaya dan selau di ceritakan turun temurun oleh anggota masyarakat di daerah tersebut. Layaknya daerah - daerah lain di indonesia di daerah tempat kelahiran saya yaitu di pulau Buton juga memiliki cerita – cerita mitos yang selalu di ceritakan secara lisan sejak zaman dahulu. Salah satu mitos yang berkembang dan dipercaya oleh sebagaian besar masyarakat sampai saat ini adalah tentang sosok mahluk sakti mandaraguna yang memiliki bentuk tubuh yang tidak lazim, yaitu separuh ular dan separuh lagi di daerah saya menyebut mahluk ini dengan nama la ode wuna. GAMBAR ILUSTRASI SOSOK LA ODE WUNA Dinamakan la ode wuna karena menurut cerita bahwa ia lahir di pulau muna yaitu sebuah pulau yang terletak tidak jauh dari pulau buton. Dan sekaligus laode wuna juga merupakan putra dari salah satu raja muna yang bernama omputo sangia. Untuk lebih jelasnya, silahkan kawan – kawan simak kisah tentang la ode wuna di bawah ini. syahdan, di pulau muna hiduplah seorang raja yang bergelar Omputusangia, nama asli dari Omputusangia adalah La Ode Husaeni di perkirakan beliau memerintah pada tahun 1716-1757. Omputusangia memiliki seorang istri yang sudah dinikahinya selama tujuh puluh tahun. Dalam kesehariannya , Omputusangia hanya disibukkan dengan berbagai macam urusan pemerintahan. Akibatnya beliau tidak pernah berpikir untuk memperoleh keturunan sebagai pelanjutnya. Pada suatu malam,ketika Omputusangia duduk merenung di tempat peristirahatannya, ia pun mulai menyadari bahwa setelah tujuh puluh tahun pernikahannya, ia dan istrinya belum juga dikaruniai seorang anak. Keadaan ini pada akhirnya membuat omputo sangia menjadi resah dan frustasi. suatu hari, Omputusangia mendapat kabar dari pengawal kerajaan bahwa pulau Muna dikunjungi oleh seorang saudagar dari Arab dengan niat untuk menyebarkan agama Islam, saudagar tersebut bernama Saidhi Raba. Pengawal kerajaan itu menambahkan pula bahwa Saidhi Raba memiliki kesaktian yang luar biasa dan Karena kesaktianya itu Saidhi Raba datang di pulau Muna lewat udara. Mendengar berita itu, Omputusangia memerintahkan pengawalnya untuk memanggil Saidhi Raba agar datang menemuinya di istana. Olehnya itu, berangkatlah pengawal kerajaan tersebut ke tempat Saidhi Raba. Setelah raja menunggu seharian di istana, akhirnya pengawal yang disuruhnya tadi kembali, namun tidak bersama Saidhi Raba. Melihat wajah raja yang kelihatan marah, pengawal tersebut menjelaskan alasannya mengapa ia tidak datang bersama Saidhi Raba. Pengawal itu mengatakan bahwa Saidhi Raba tidak ingin datang ke Istana karena raja memelihara babi, dan menurut ajaran agama Saidhi Raba yakni Islam, babi adalah binatang yang haram. Demi untuk menghadirkan Saidhi Raba keistana, omputo sangia rela melepas seluruh babi peliharaanya, dan Setelah itu diperintahkanlah pengawal untuk kembali menjemput Saidhi Tidak lama kemudian,datanglah Saidhi ke Istana dan b menanyakan perihal pemanggilan dirinya. Omputusangia pun berkata bahwa perihal pemanggilan saidhi raba kesitana karena ia ingin menguji kesaktian yang dimiliki Saidhi Raba. Pertama-tama, omputosangia menminta Saidhi Raba untuk membaca isi hatinya, apabila Sidhi Raba dapat membaca apa yang ia inginkan saat itu, maka omputo sangia akan masuk Islam. Dengan kemampuan yang dimilikinya, Sidhi Raba pun mengatakan bahwa Raja ingin sekali memiliki seorang anak karena istrinya mandul. Dan untuk mewujudkan keinginan omputo sangia , maka Berdoalah Saidhi Raba kepada Tuhan agar agar istri omputo sangia yang sudah tua itu bisa mengandung seorang anak,namun beberapa hari berlalu doa yang di panjatkan saidhi raba tidak kujung itu, Muncul kecurigaan dalam benak omputosangia bahwa Saidhi Raba tidaklah sehebat seperti apa yang dibicarakan. Dengan belum terkabulnya doa saidhi Raba tidak lantas membuatnya putus asa. Ia pun kembali berdoa dan terus berdoa dan pada akhirnya ,doa Saidhi Raba diterima oleh Allah. Istri Raja pun mengandung dan pada akhirnya omputo sangia masuk agama Islam. Sebelum ia kembali, Saidhi Raba mengingatkan pada omputo sangia bahwa roh yang ada dalam kandungan istrinya adalah roh yang terpaksa diberikan Tuhan karena umur permaisuri sudah sangat tua. Tibalah waktunya permaisuri untuk melahirkan. Ternyata perkataan Saidhi Raba benar, anak yang dilahirkan oleh istri Raja Muna tersebut adalah berupa makhluk berbadan setengah manusia dan setengah ular, anak itu di beri nama la ode wuna. Raja pun sangat sedih melihat kondisi anaknya. Setiap hari, apabila ada kunjungan tamu dari Bugis ataupun Minangkabau, anaknya yang diberi nama La ode Muna tersebut selalu disembunyikan oleh raja dalam sebuah guci karena ia malu dengan kondisi fisik yang dialami oleh anaknya itu. Lima belas tahun kemudian, La ode Muna tumbuh menjadi seorang remaja, maka. Mulailah ia menggoda para gadis yang ada dalam lingkungan istana. Ia pun menyampaikan niatnya kepada ayahnya untuk memiliki seorang kekasih, namun Raja tidak menhendaki niatan laode wuna tersebut. Bahkan ia melarang la ode wuna untuk mendekati wanita, karena menurutnya tidak mungkin La Ode wuna dapat menikahi seorang gadis dengan kondisi fisik setengah manusia dan setengah ular. Sampai pada suatu hari, Omputosangia memutuskan untuk mengasingkan La Ode Muna agar ia tidak mendapatkan malu dari anak jadi-jadian itu. Raja kemudian mengasingkan La Ode Muna di Unggumora dengan bekal 44 biji telur dan 44 biji pada akhirnya, di hari ke empat puluh ia diasingkan, La Ode Muna terbang ke langit dengan badan yang menyala sembari berkata bahwa saya telah terbang. Demikianlah kisah tentang laode wuna, bagi sebagian besar masyarakat muna dan buton, percaya bahwa laode wuna masih hidup sampai hari ini. Dan Karena kesiaktian yang dimilikanya laode wuna dianggap sebagai sosok makhluk yang senantiasa melindungi pulau muna dan buton dari berbagai macam ancaman dan marabahaya. Namun begitulah mitos, entah benar atau tidak biarlah akal kita yang mengolahnya. Wallahu alam Bissowab.

raja muna setengah ular